Senin, 06 Agustus 2012

Amalan Ketika Haid

Bismillahirrohmanirrohiim...
Wanita haid, bolehkah menyentuh bahkan membaca Al Qur'an ? Ini berdasarkan pengalaman saya yaa.. Saya pribadi ketika sedang mengalami masa-masa haid tetap membaca Al Qur'an.. Dulu ketika saya bersekolah di sebuah pondok pesantren, para santri putri tetap membaca Al Qur'an bahkan di masjid. Meksipun sedang haid para santri putri tetap diwajibkan pergi ke masjid dan mengikuti kegiatan di sana. Baik itu membaca Al Qur'an, menghafal Al Qur'an, ataupun serangkaian kegiatan pondok lainnya. Awalnya saya masih taqlid, ikut-ikutan. Belum mengerti mengenai ilmunya. Hingga saya sudah tidak di pondok lagipun saya masih tetap menjalaninya. Suatu ketika, teman saya bertanya "Bukannya kamu lagi haid, kok ngaji ?" Pertanyaan-pertanyaan itu tidak saya hiraukan dan saya tetap mengaji. Jawaban dari saya hanya "Iyaa" sambil tersenyum. Hingga suatu ketika, saat saya sedang berkumpul bersama teman-teman dan guru ngaji mereka membahas mengenai amalan ketika haid. Boleh tidanya membaca Al Qur'an. Kesimpulannya mengambil pilihan "hati-hati". Semenjak itu saya berhenti mengaji saat haid. Sayapun sebenarnya masih belum puas mengenai kejelasannya, hingga saya benar-benar banyak bertanya kepada orang lain baik teman maupun guru ngaji. Saya juga browsing dan mencermatinya. Dan pada akhirnya karena Allah saya kembali membaca Al Qur'an ketika haid. Berikut penjelsannya :)

Bolehnya Wanita Haid Berdzikir Kepada Allah Dan Membaca Al Qur’an :

Al Imam Bukhari dalam Shahih-nya (nomor 971) meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Ummu `Athiyah radhiallahu ‘anha, ia berkata :
“Kami dulunya diperintah untuk keluar (ke lapangan shalat Ied, pent.) pada Hari Raya sampai-sampai kami mengeluarkan gadis dari pingitannya dan wanita-wanita haid. Mereka ini berada di belakang orang-orang (yang shalat), mereka bertakbir dan berdo’a dengan takbir dan doanya orang-orang yang hadir. Mereka mengharapkan berkah hari tersebut dan kesuciannya.” (Diriwayatkan juga oleh Muslim nomor 10 : `Shalat
Iedain’)
`Aisyah radhiallahu ‘anha berkata :
 “Aku datang ke Makkah dalam keadaan haid. Dan aku belum sempat Thawaf di Ka’bah dan Sa’i antara
Shafa dan Marwah. Maka aku adukan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda : “Perbuatlah sebagaimana yang dilakukan seorang yang berhaji, hanya saja jangan engkau Thawaf di Ka’bah sampai engkau suci (dari haid).” (HR. Bukhari nomor 1650 dan Muslim nomor 120/ Kitab Al Hajj)
Dua hadits di atas memberi faedah bahwa wanita haid disyariatkan untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala, dan Al Qur’an termasuk dzikir sebagaimana Allah berfirman :
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz Dzikir (Al Qur’an) dan Kami-lah yang akan menjaganya.” (Al Hijr : 9)
Apabila seorang yang berhaji dibolehkan membaca Al Qur’an maka demikian pula bagi wanita haid, karena yang dikecualikan dalam larangan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada `Aisyah yang sedang haid hanyalah Thawaf. Permasalahan membaca Al Qur’an bagi wanita haid ini memang ada perselisihan di kalangan ulama. Ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Abu Hanifah berpendapat bolehnya wanita haid membaca Al Qur’an dan ini merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’i dan Ahmad, dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah. Mereka mengatakan : 
“Asal dalam perkara ini adalah halal. Maka tidak boleh memindahkan kepada selainnya kecuali karena ada larangan yang shahih yang jelas.”
Adapun jumhur Ahli Ilmu berpendapat tidak boleh bagi wanita haid untuk membaca Al Qur’an, akan tetapi boleh baginya untuk berdzikir kepada Allah. Mereka ini mengkiaskan (atau menyamakan) haid dengan
junub, padahal sebenarnya tidak ada pula dalil yang melarang orang junub untuk membaca Al Qur’an.Yang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang pertama, dan ini bisa dilihat dalam Majmu’ Fatawa 21/460 dan Syarhuz Zad 1/291. (Nukilan dari Syarh Umdatul Ahkam karya Abu Ubaidah Az Zaawii, murid senior
Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadhi’i)
Asy Syaikh Mushthafa Al Adhawi dalam kitabnya Jami’ Ahkamin Nisa’ (1/183-187) membawakan bantahan bagi yang berpendapat tidak bolehnya wanita haid membaca Al Qur’an dan di akhir tulisannya beliau berkata :
“Maka kesimpulan permasalahan ini adalah boleh bagi wanita haid untuk berdzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an karena tidak ada dalil yang shahih yang jelas dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam yang melarang dari hal tersebut bahkan telah datang dalil yang memberi faedah bolehnya (wanita haid) membaca Al Qur’an dan berdzikir sebagaimana telah lewat penyebutannya, Wallahu A’lam.”

Hukum Menyentuh Mushaf Bagi Wanita Haid

Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (1/502) menyatakan bolehnya wanita haid membawa Al Qur’an dan ini sesuai dengan madzhab Abu Hanifah. Berbeda dengan pendapat jumhur yang melarang hal tersebut dan mereka menyatakan bahwa membawa Al Qur’an dalam keadaan haid mengurangi pengagungan terhadap Al Qur’an.
Berkata Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi : 
“Mayoritas Ahli Ilmu berpendapat wanita haid tidak boleh menyentuh mushaf Al Qur’an. Namun dalil-dalil yang mereka bawakan untuk menetapkan hal tersebut tidaklah sempurna untuk dijadikan sisi pendalilan. Dan yang kami pandang benar, Wallahu A’lam, bahwasannya boleh bagi wanita haid untuk menyentuh mushaf Al Qur’an. 
Berikut ini kami bawakan dalil-dalil yang digunakan oleh mereka yang melarang wanita haid menyentuh Al Qur’an. Kemudian kami ikutkan jawaban atas dalil-dalil tersebut (untuk menunjukkan bahwasanya wanita haid tidaklah terlarang untukmenyentuh mushaf, pent.) :
1) Firman Allah Ta’ala :
“Tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan.” (Al Waqi’ah : 79)
2) Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Tidaklah menyentuh Al Qur’an itu kecuali orang yang suci.” (HR. Ath Thabrani. Lihat Shahihul Jami’ 7880. Al Misykat 465)
Jawaban atas dalil di atas :
Pertama : Mayoritas Ahli Tafsir berpendapat bahwa yang diinginkan dengan dlamir (kata ganti) dalam firman Allah Ta’ala : ((Laa Yamassuhu)) adalah `Kitab Yang Tersimpan Di Langit’. Sedangkan ((Al Muthahharun)) adalah `Para Malaikat’. Ini dipahami dari konteks beberapa ayat yang mulia :
“Sesungguhnya dia adalah Qur’an (bacaan) yang mulia dalam kitab yang tersimpan, tidaklah menyentuhnya kecuali Al Muthahharun (mereka yang disucikan).” (Al Waqi’ah : 77-79)
Dan yang menguatkan hal ini adalah firman Allah Ta’ala :
“Dalam lembaran-lembaran yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi berbakti (yakni para malaikat, pent.).” (Abasa : 13-16)
Inilah pendapat mayoritas Ahli Tafsir tentang tafsir ayat ini.
Pendapat Kedua : Tentang tafsir ayat ini bahwasannya yang dimaukan dengan Al Muthahharun adalah kaum Mukminin, berdalil dengan firman Allah :
“Hanyalah orang-orang musyrik itu najis.” (At Taubah : 28)
Dan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Sesungguhnya orang Muslim itu tidak najis.” (HR. Bukhari nomor 283 dan Muslim nomor 116)
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melarang bepergian dengan membawa mushaf ke negeri musuh, karena khawatir jatuh ke tangan mereka. (HR. Muslim dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)
Pendapat Ketiga : Bahwasannya yang dimaukan dengan firman Allah (yang artinya) : “Tidaklah menyentuhnya kecuali mereka yang disucikan.” (Al Waqi’ah : 79) adalah tidak ada yang dapat merasakan kelezatannya dan tidak ada yang dapat mengambil manfaat dengannya kecuali orang-orang Mukmin.
Namun adapula Ahli Tafsir (walaupun sedikit) yang berpendapat dengan pendapat keempat, bahwa : “Yang dimaksudkan dengan Al Muthahharun adalah mereka yang disucikan dari dosa-dosa dan kesalahan.
Dan yang kelima : Al Muthahharun adalah mereka yang suci dari hadats besar dan kecil.
Sisi keenam : Al Muthahharun adalah mereka yang suci dari hadats besar (janabah).
Mereka yang membolehkan wanita haid menyentuh mushaf memilih sisi yang pertama, dengan begitu tidak ada dalil dalam ayat tersebut yang menunjukkan larangan bagi wanita haid untuk menyentuh Al Qur’an.
Sedangkan mereka yang melarang wanita haid menyentuh Al Qur’an memilih sisi kelima dan keenam. Dan telah lewat penjelasan bahwa mayoritas ahli tafsir menafsirkan Al Muthahharun dengan malaikat.
Dalil Kedua : Tidak aku dapatkan isnad yang shahih, tidak pula yang hasan, bahkan yang mendekati shahih atau hasan untuk hadits yang dijadikan dalil oleh mereka yang melarang wanita haid menyentuh Al
Qur’an. Setiap sanad hadits ini yang aku dapatkan, semuanya tidak lepas dari pembicaraan. Lantas apakah hadits ini bisa terangkat kepada derajat shahih atau hasan dengan dikumpulkannya semua sanadnya
atau tidak? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat, Asy Syaikh Albani rahimahullah menshahihkannya dalam Al Irwa’ (91/158). Bila hadits ini dianggap shahih sekalipun, maka pengertiannya sebagaimana pengertian ayat yang mulia di atas. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/187-188)
Asy Syaikh Al Albani rahimahullah sendiri ketika menjabarkan hadits di atas beliau menyatakan bahwa yang dimaksud dengan `thahir’ adalah orang Mukmin baik dalam keadaan berhadats besar atau hadats kecil
ataupun dalam keadaan haid. Wallahu A’lam.

Bolehkah Wanita Haid Masuk Ke Masjid?

Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di kalangan Ahli Ilmu, ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi membawakan dalil dari kedua belah pihak dan kemudian ia merajihkan/menguatkan pendapat yang membolehkan wanita haid masuk ke masjid. Berikut ini dalil-dalilnya :
Dalil Yang Membolehkan :
1) Al Bara’ah Al Ashliyyah, maknanya tidak ada larangan untuk masuk ke masjid.
2) Bermukimnya wanita hitam yang biasa membersihkan masjid, di dalam masjid, pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Tidak ada keterangan bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
memerintahkan dia untuk meninggalkan masjid ketika masa haidnya, dan haditsnya terdapat dalam Shahih Bukhari.
3) Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada `Aisyah radhiallahu ‘anha yang tertimpa haid sewaktu melaksanakan ibadah haji bersama beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Lakukanlah apa yang diperbuat oleh seorang yang berhaji kecuali jangan engkau Thawaf di Ka’bah.” (HR. Bukhari nomor 1650)
Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak melarang `Aisyah untuk masuk ke masjid dan sebagaimana jamaah haji boleh masuk ke masjid maka demikian pula wanita haid (boleh masuk masjid).
4) Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Sesungguhnya orang Muslim itu tidak najis.” (HR. Bukhari nomor 283 dan Muslim nomor 116 Kitab Al Haid)
5) Atha bin Yasar berkata : “Aku melihat beberapa orang dari shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam duduk di masjid dalam keadaan mereka junub apabila mereka telah berwudlu seperti wudlu shalat.” (Dikeluarkan oleh Said bin Manshur dalam Sunan-nya dan isnadnya hasan)
Maka sebagian ulama mengkiaskan junub dengan haid. Mereka yang membolehkan juga berdalil dengan keberadaan ahli shuffah yang bermalam di masjid. Di antara mereka tentunya ada yang mimpi basah dalam keadaan tidur. Demikian pula bermalamnya orang-orang yang i’tikaf di masjid, tidak menutup kemungkinan di antara mereka ada yang mimpi basah hingga terkena janabah dan di antara wanita yang i’tikaf ada yang haid.
Dalil Yang Melarang :
1) Firman Allah Ta’ala :
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati shalat sedangkan kalian dalam keadaan mabuk hingga kalian mengetahui apa yang kalian ucapkan dan jangan pula orang yang junub kecuali sekedar
lewat sampai kalian mandi.” (An Nisa’ : 43)
Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata `shalat’ dalam ayat di atas adalah tempat-tempat shalat, berdalil dengan firman Allah Ta’ala :
“… niscaya akan runtuh tempat-tempat ibadah ruhban Nasrani, tempat ibadah orang umum dari Nasrani, shalawat, dan masjid-masjid.” (Al Hajj : 40)
Mereka berkata : “((Akan runtuh shalawat)) maknanya ((akan runtuh tempat-tempat shalat)).”
Di sini mereka mengkiaskan haid dengan junub. Namun kata Asy Syaikh Mushthafa : “Kami tidak sepakat dengan mereka karena orang yang junub dapat segera bersuci sehingga di dalam ayat ini ada anjuran untuk
bersegera dalam bersuci, sedangkan wanita yang haid tidak dapat berbuat demikian.”
2) Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada para wanita ketika beliau memerintahkan mereka untuk keluar ke tanah lapangan pada saat shalat Ied. Beliau menyatakan :
“Hendaklah wanita-wanita haid menjauh dari mushalla.” (HR. Bukhari nomor 324)
Jawaban atas dalil ini adalah bahwa yang dimaksud dengan `mushalla’ di sini adalah `shalat’ itu sendiri, yang demikian itu karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya shalat Ied di tanah lapang, bukan di masjid dan sungguh telah dijadikan bumi seluruhnya untuk ummat ini sebagai masjid (tempat shalat).
3) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendekatkan kepala beliau kepada `Aisyah yang berada di luar masjid ketika beliau sedang berada di dalam masjid, hingga `Aisyah dapat menyisir beliau dan ketika itu `Aisyah sedang haid.
Jawaban atas dalil ini adalah tidak ada di dalamnya larangan secara jelas bagi wanita haid untuk masuk ke dalam masjid. Sementara di masjid itu sendiri banyak kaum pria dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentu tidak suka mereka sampai melihat istri beliau.
4) Perintah-perintah yang ada untuk membersihkan masjid dari kotoran-kotoran.
Dalam hal ini juga tidak ada larangan yang tegas bagi wanita haid. Yang jelas selama wanita haid tersebut aman dari kemungkinan darahnya mengotori masjid, maka tidak apa-apa ia duduk di dalam masjid.
5) Hadits yang lafadhnya :
“Aku tidak menghalalkan masjid bagi orang junub dan tidak pula bagi wanita haid.” (HR. Abu Daud 1/232, Baihaqi 2/442. Didlaifkan dalam Al Irwa’ 1/124)
Namun hadits ini dlaif (lemah) karena ada rawi bernama Jasrah bintu Dajaajah.

“Sebagai akhir”, kata Asy Syaikh Mushthafa, “kami memandang tidak ada dalil yang shahih yang tegas melarang wanita haid masuk ke masjid,dan berdasarkan hal itu boleh bagi wanita haid masuk masjid atau berdiam di dalamnya.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/191-195, dengan sedikit ringkasan)

Semoga bermanfaat..

1 komentar:

  1. Imam Nawawi berkata, "Guna menghindari Ikhtilaf, lebih baik ambil pendapat yang tidak membolehkannya" (Al-Adzkar).

    Sayyidina Umar bin Khattab telah meninggalkan 90% hal yg Halal/Boleh, karna takut terjerumus kedalam hal yg Haram (Tanbihul Ghafilin).

    saran Ane, bersikap Wara'lah, jgn egoisme yg digedein, menghindari Ikhtilaf jg dapet pahala kok, drpada maksain diri tapi Celaka nantinya.

    BalasHapus